Drama Musikal Sangkuriang yang ‘Petjah’ di Bandung Independent School (BIS)

Saat folklore hadir lewat drama musikal yang dimainkan dan akan ditonton oleh mereka yang mungkin bahkan tidak bisa bahasa Indonesia, di situ saya penasaran dan kegirangan saat menerima undangan untuk hadir di event ulang tahun ke-45 BIS ini. Bakal kayak apa, ya?

Ibarat meramu sebuah cerita agar punya daya pikat yang kuat, konsep acara kali ini seperti sedang membenturkan 2 hal yang berbeda, yaitu Sangkuriang sebagai legenda tatar Parahyangan yang ditampilkan dengan berkolaborasi sama sekolah internasional. Keren, ya?!

Jadi untuk acara Jumat kemarin saya ajak si Lussy. Syukurlah anaknya mau skip sebentar jadwal kencannya. Kenapa Lussy? Karena menurut taksiran saya dia teman yang cocok untuk menikmati yang semacam ini dan bisa betah mengikuti pertunjukan dari awal sampai selesai.

Acara mulai dibuka oleh MC ngocol berbahasa Inggris yang cukup bisa dimengerti kuping saya. Dia bikin permainan gitu yang interaktif dan lucu. Tapi rasanya lamaaaa gitu. Ya tampaknya sih sengaja, karena acaranya memang belum siap dimulai tepat 15:30 WIB sesuai jadwal. Tapi, dengan menyilakan penonton tetap masuk lalu pembawa acaranya melempar joke yang cukup renyah untuk mengulur waktu, saya sih jadi ga merasa rugi datang lebih awal. Tawa pun membahana dari penonton yang memenuhi kursi berkapasitas 150 di ruangan ini.

Akhirnya MC mengakhiri cuap-cuapnya.

Teruuuuuuus, lampu mulai dipadamkan.

Tirai dibuka. Musik mulai berdenting.

Daaaaaaaan… Muncul tiga perempuan dengan gaun yang bikin saya mangap.

When the sharpest words wanna cut me down

I’m gonna send a flood, gonna drown them out
I am brave, I am bruised
I am who I’m meant to be, this is me

IMG_20180512_155654-01

Aaaaaaaaak! Saya suka banget soundtrack di film Greatest Showman. Dan ternyata ga cuma ‘This is Me’, tapi juga lagu-lagu Greatest Showman yang lain. Ya ampun, terharu gini rasanya. Dan, rupanya penyanyi yang di tengah itu Ibu Heni Smith. Siapa dia? Pemilik Lodge Maribaya yang jadi destinasi favorit di Cibodas, Lembang. Acara ini sebetulnya kerjasama BIS dengan Lodge Foundation–yayasan CSR dari Lodge Maribaya yang fokus di bidang pendidikan, lingkungan hidup, dan seni budaya.

Sebagai opening performance ini sukses bikin saya terpukau. Energinya itu loh all out, menggetarkan, dan merasuk ke jiwa. Apalagi lagunya yang saya suka, kan. Aaaaah!

Sambil menikmati nyanyian dari film kesayangan, berikutnya penonton disuguhin peragaan busana. Nah, yang tampil ternyata bukan model profesional, tapi wali murid, guru, dan staff BIS. Dan saya semakin dibuat terperangah menyaksikan busana-busana mereka.

IMG_20180512_161030-01

IMG_20180512_155831-01.jpeg

Ga cuma bengong, saya bahkan yakin akan memilih tema kostum ala film-film kolosal yang begini saat menikah nanti. Selain elegant dan klasik, pakaian mereka yang dibuat dari kain batik, songket, juga tenun ini sungguh tampak mewah. Bisa ga, ya, bikin yang beginian buat kostum kawinan? Semoga bisa, ah. Aamiin…

Hingga waktu yang saya tunggu pun tiba, yaitu momen munculnya siapa sosok di balik kemegahan busana-busana ajaib ini.

IMG_20180512_161132-01

Ternyata ini semua mahakarya dari designer kondang asal Bandung, Deden Siswanto. Milenial yang ga tahu siapa dia, Kang Deden ini yang merancang baju pernikahannya si selebgram Tasya Farasya. Udah tahu sekarang? Akang yang usianya 50 tahun ini memang fokus dengan desainnya yang memadupadankan kain-kain tradisional dari seluruh daerah di Indonesia. Dan dia satu-satunya orang yang bikin saya tertekat nanti mau naik panggung buat foto bareng.

Setelah second performance selesai, masuk lah kita ke inti acara.

Pertunjukan Sangkuriang pun dimulai.

Musik dimainkan, mengiringi narator bercerita menggunakan bahasa Indonesia. Animasi di layar pun jadi media yang epik sekali memvisualkan peristiwa sebelum Sangkuriang dewasa dan ingin menikahi ibunya sendiri, Dayang Sumbi.

IMG_20180512_162114-01

Dikisahkan Dayang Sumbi adalah putri raja yang mengasingkan diri di hutan. Dia mengisi waktu dengan menenun kain. Hingga suatu hari alat tenunnya jatuh. Saat itu dia berjanji, jika laki-laki yang menemukannya akan dia jadikan suami sedangkan jika perempuan akan dia jadikan saudara.

Ternyata, alat tenun ini ditemukan oleh seorang anjing. Dayang Sumbi pun pantang mencabut ucapannya sendiri. Dia menikahi si anjing, yang setelahnya ternyata berubah wujud sebagai pangeran tampan.

Dari sang pangeran berwujud anjing ini Dayang Sumbi melahirkan seorang bayi laki-laki, dinamainya Sangkuriang. Sayangnya, sang ibu merahasiakan kepada si anak siapa ayahnya. Sejak kecil yang ditahu Sangkuriang, anjing yang menemaninya bermain sejak hingga mampu menggunakan busur panah adalah peliharaannya.

Hingga suatu hari Sangkuriang siap membidik seekor babi hutan. Namun naas, saat panah melesat meninggalkan busurnya, di situ si anjing mengorbankan dirinya untuk melindungi sang babi hutan. Tanpa diketahui Sangkuriang, babi tersebut sebenarnya adalah neneknya sendiri. Dan, tanpa diketahui Dayang Sumbi, Sangkurian membawa bangkai anjingnya untuk dimakan bersama sang ibu.

Di sini lighting dan musik dramatis bermain . Emosi kita dibuat sedemikian rupa agar larut dalam suasana yang tergambar di layar. Jujur saja, saya baru tahu ini latar belakang orangtua Sangkuriang. Berbeda seperti yang saya tahu dari buku pelajaran SD dulu.

Jeng jeeeeeeeeng…..

Singkat cerita, Sangkuriang dan Dayang Sumbi yang awet muda karena tidak pernah memakan daging lagi setelah secara tidak sengaja memakan daging suami sendiri akhirnya berjumpa.

IMG_20180512_164450-01

IMG_20180512_164116-01

Keluwesan mereka memerankan karakter masing-masing patut dipuji, apalagi keduanya tidak memiliki basic bermain teater. Tahu, ga, siapa yang jadi si Dayang Sumbi? Narda Virelia, alumni BIS yang saat ini menyandang predikat Runner Up 1 Miss Indonesia 2018. Dia jago nari sih. Asyik banget memerankan sebagai emak-emak. Sepanjang pertunjukan saya hanya bisa terkesima.

IMG_20180512_165607-01.jpeg

Tidak terasa 30 menit berlalu dan pertunjukan selesai. Semua penonton bertepuk tangan. Saya paling kenceng saking senengnya. Dan, lagi-lagi ditutup dengan soundtrack dari The Greatest Showman. Oh, leleh hati hamba…

IMG_20180512_165922-01

IMG_20180512_170121-01

Beres acara saya ikut naik panggung, dong. Foto bareng sama Kang Deden, seperti yang saya tekatkan pas di awal tadi. Si Akangnya bilang bahwa konsep desainnya ini heritage. Sip lah, semoga nanti bisa jadi tema kostum kawinan saya. Aamiin…

Dan ternyata cerita tidak selesai di ruang pertunjukan.

Saat saya sudah mau pulang, pas turun di basement lagi ada perkumpulan akang-akang yang ngobrolin acara tadi. Salah satu dari mereka ada yang mukanya masih cemong-cemong sama make up. Terus, terjebaklah kami dalam satu obrolan di sana. Mulai dari yang kontemplatif sampai ngomongin jalan-jalan.

Saya berkenalan dengan sutradaranya, Kang Kiki Permana. Dia cerita, semua yang tampil di acara tadi tidak ada yang punya basic seni. Apalagi, pemainnya memang anak-anak daerah Cibodas berbagai usia yang kebanyakan masih usia sekolah.

Drama musikal ini sudah biasa ditampilkan Sanggar Nuwala yang dikelola Lodge Foundation. Nah, Sanggar Nuwala sendiri sudah setahun bikin pentas di Lodge Maribaya tiap dua minggu sekali. Tapi, untuk event kali ini mereka cuma punya waktu 2 bulan buat latihan bareng sama BIS. Itu pun seminggu cuma 2 kali pertemuan dan per latihan hanya tersedia waktu 1,5 jam. Gokil, ga?!

Sebenarnya, Lodge Foundation ini lahir dari keresahan Ibu Heni melihat seni budaya Sunda yang hampir ditinggalkan generasi muda. Padahal dari warisan moyang ini ada nilai-nilai yang harus dijaga eksistensinya.

Kalau mau nonton angklung di Saung Udjo, tapi kalau mau nonton teater di mana? Di Lodge Maribaya, Lembang.

Di situ juga ada Kang Opik, produsernya. Kang Ujang juga ada, pelatih koreografinya. Kata mereka yang baru kali pertama berkolaborasi dengan ekspatriat, acara ini bisa dibilang sukses. Apalagi total kru dan pemain lebih dari 60 orang.

Para seniman ini cerita loh bakal punya 2 agenda besar di akhir tahun, International Ethnic Folklore Festival di New Delhi India pas Oktober dan berikutnya Desember jadi pengisi acara satu konser band dari Bandung yang lagi manggung di Munich Jerman. Hebaaaaaaat, ya!!!

Saya pengen, ih, nonton pertunjukan mereka lagi. Tapi, di Lodge Maribaya. Belum pernah ke sana juga soalnya. Mau ajak saya? Yuuuuuk!

Opo Jaremu?